Modernis.co, Malang – 190 sudah Negara yang terpapar pandemi Covid-19. Si-kecil itu telah tumbuh dan merantau kemana-mana, sekarang Italia yang menjadi korban tertinggi kedua setelah China.
Angka kematiannya tertinggi di dunia. Pada 26 maret, total ada 105.792 kasus positif di Negara tersebut. Sedangkan kematiannya mencapai angka 12.428.
Atas kegentingan kematian, pemerintah Italia lantas mengambil tindakan dengan melakukan lockdown pada tanggal 9 Maret lalu. Sebelumnya, Italia sudah membuat kebijakan diantaranya; mengurangi bias komunitas dan tidak langsung melakukan lockdown wilayah-wilayah yang tidak strategis dalam modeling kasus Covid-19 ini.
Bukan hanya pemerintah, tapi rakyatnya juga bersuara untuk melawan pandemi yang sedang menggandrungi bangsa mereka. Di Magliana, Roma (17/3), ditengah instruksi untuk lockdown, mereka keluar di balkon rumah mereka.
Girang menyanyikan lagu “Volare” dan lagu kebangsaan mereka seraya memautkan bendera negaranya yang sudah dituliskan kata-kata semangat: Forza Ragazzi, #andratottobanerestiamo a casa.
(Ayo, teman-teman #everythingsgonnnabeallright, kami tinggal di rumah), kata mereka.
Di Asia Tenggara, konon katanya Negara dengan rasio kematian tertinggi dinobatkan kepada Indonesia, dengan rasio kematian 8,6 persen. Sudah ada 136 orang yang meninggal tercatat pada 31 Maret, setelah kabar pasien pertama Covid-19 yang diumumkan oleh Presiden pada genap sebulan lalu.
Indonesia tampak tidak bersiap dan terlau kalem saat tamu tak diundang ini datang. Pemerintahnya gagap kebijakan, sini bilang A, si –dia bilang B. Hari ini tahu, besok sudah tempe. Sampai hari ini, masih ramai pertanyaan rakyat terhadap strategi pemerintah. Hal ini dimuat oleh Jawa Pos pada judul besarnya (2/4).
Sungguh kasihan Negara itu, Sekarang korban terus meningkat, APD (Alat Pelindung Diri) terbatas, lambatnya kebijakan pemerintah pusat membuat kewalahan pemerintah daerah karena alat kesehatan yang terbatas. Sangat dapat dimaklumi apabila pemerintah daerah menerapkan penutupan akses masuk daerah dari daerah lain.
Itu kan di Indonesia, berbeda dengan kami. Kami baik-baik saja. Sepertinya daerah kami kebal Covid-19. Tidak ada upaya melindungi diri, yang masif. Pak Ngadio tetap sibuk pada profesinya, pungut sampah. Pedagang tahu petis di trotoar kampus juga masih digelar, walapun tak terlihat satupun manusia disana.
Saya pun sangat senang, bisa hemat lipstik karena perkuliahan pindah ke gawai masing-masing.
Ya, begitulah gambaran kita. Seakan Indonesia bukan bangsa kita bersama. Padahal kita tau, pandemi Covid-19 bukan hanya memusnahkan si-kaya atau si-miskin, tapi siapapun itu.
Pancasila sebagai landasan filosofi Negara telah menjadi rumusan tentang hakikat manusia. Pada hakikatnya adalah manusia memiliki hubungan dengan Tuhan, manusia dan alamnya.
Dalam masyarakat plural ini, pada hakikatnya bukanlah komposisi kemasyarakatan yang membutuhkan manusia, namun pada dasarnya, manusia lah yang membutuhkan masyarakat. Sayangnya sedikit sekali manusia yang mengerti hakikatnya.
Manusia sebagai Zoon Politicon, oleh Aristoteles tidak digubris dengan benar. Ah, Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang ideologi bangsa, Pancasila sebagai landasan filosofi. Semua itu adalah omong kosong bila kita masih candu oleh kepentingan politis individu.
Ribuan orang butuh APD, makanan dan pekerjaan mereka. Oleh sebab itu jangan lagi tutup mata. Saya bersyukur, masih ada orang yang peduli. Terakhir kali di komplek saya tinggal ada kerja bakti dadakan setelah dua orang di desa dikabarkan meninggal akibat Covid-19, maka itu saya cukup berterimakasih pada pandemic ini.
Rumah-rumah gedongan itu sekarang jadi lebih terbuka, prinsipnya menjaga orang lain sama dengan menjaga keluarga sendiri. Covid-19 jadi tantangan bagi kita semua. Ketimbang menuntut mari memulai dari diri sendiri. Memangnya kalau bukan kita siapa lagi?
Oleh : Ananda Firdausy Ahla (Kabid IMMawati IMM Tamaddun FAI UMM dan Kader Forsifa)